Monday, September 26, 2005

Dan Gerbong Kereta pun bersaksi

"Kemarin kau tak mengaji. Hari ini tak mengaji, tak sembahyang pula kau? mau jadi manusia apa kau nak?" tegur seorang ibu kepada anak lelakinya yang baru berusia sekitar 8 tahun. "Bukannya tak mau sembahyang mak. Di kereta banyak pembeli, kan sayang. Lagipula itu kan rejeki?" sanggah sang anak yang masih menggendong kotak rokok dan permen dagangannya. "Hey ? apa kau bilang? Rejeki tu sudah ada yang mengaturnya. Bukan kau yang menentukan apa kau dapat rejeki atau tidak hari ini. Kalau kau tak berdoa pada-Nya, mungkin esok kau tak seberuntung hari ini?"

Kata-kata itu, sungguh membuat ku terkesima. Sebuah cuplikan fragmen keimanan yang kutangkap hanya beberapa menit saat kuberdiri di Stasiun Kereta Api Pasar Minggu, tak seberapa masa menjelang Maghrib. Ada gemuruh yang menderu di dalam dada ini melihat pemandangan menakjubkan di depanku, terlebih mendengar dialog yang lumayan menggetarkan itu. Betapa tidak, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang masih balita, ditemani putri sulungnya yang berusia tidak lebih dari dua belas tahun, meski tidak serapih muslimah-muslimah yang biasa kutemui di kampus atau perkantoran, tapi ia berusaha untuk menutupi bagian kepalanya dengan jilbab lusuh, bahu membahu bersama sang Ayah berdagang di emperan stasiun KA Pasar Minggu. Sementara anaknya yang lelaki, diberinya tanggungjawab berjualan rokok, tissue dan permen di gerbong KA Jabotabek.

Setiap dini hari mata mereka terjaga mendahului kokok ayam paling pagi untuk mengepak barang-barang yang akan digelar di stasiun kereta api yang berdebu, kadang sesak di pagi dan sore hari, saat jam pergi dan pulang kantor. Tak ada kursi empuk selain alas koran yang tidak jarang membuat pinggang dan tulang bokong mereka pegal-pegal sekaligus panas, jika tak sering-sering bangun, kemudian duduk kembali sekedar melancarkan peredaran darah. Keringat yang keluar tak bisa diukur dari nine to six seperti jam kerja kebanyakan kita. Sedangkan si bocah lelaki keluar masuk dari gerbong ke gerbong, dari pagi hingga malam menjelang dengan segala bentuk bahaya yang senantiasa menanti.

Tapi, tak sedikitpun mereka ragu bahwa Dia-lah yang mengatur semua rizki bagi manusia, tidak terkecuali mereka. Sehingga sedemikian marahnya si ibu setelah mendapat laporan dari si sulung bahwa anak lelakinya sudah dua hari tak mengaji, dan hari ini kedapatan tak sembahyang Dzuhur.

Sahabat, mari kita tengok diri ini. Di pagi hari tak perlu memanggul karung dan dus yang berat, tak perlu menggelar terpal di emperan manapun. Kita hanya perlu naik kendaraan menuju kantor, duduk di kursi yang empuk, mungkin tak ada peluh yang harus dibasuh karena seharian bekerja di ruangan ber-AC, dan tidak jarang masih mendapatkan pelayanan khusus dari office boy.

Namun dengan kondisi yang demikian lebih baik, tidak jarang Dzuhur dan Ashar tertinggal. Bahkan kesempatan Maghrib pun kita lewatkan di perjalanan pulang. Seringkali kesibukan dan banyaknya pekerjaan menjadi alasan untuk tak melafazkan barang satu ayatpun kalimah-Nya. Tak mengertikah kita bahwa mungkin saja Dia yang maha mengatur rizki itu tak lagi memberikan kita semua kesibukan yang hari ini menjadi alasan untuk tak mendekati-Nya?

Sungguh, enggankah kita membiarkan semua pekerjaan, komputer, meja kerja, kursi empuk, telepon yang berdering-dering itu kelak menjadi saksi di hadapan Allah, bahwa mereka pernah ditinggal oleh pemiliknya di waktu-waktu tertentu saat kita bermunajat pada-Nya?

***

Adzan Maghrib pun berkumandang, kuikuti punggung-punggung mereka yang menuruti langkah-langkah kecil menuju mushola.

----------------------------------
(Diambil dari Oase Iman, www.eramuslim.com)