Wednesday, January 16, 2008

Masalah dan pemecahannya


Kadang kita tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. kadang kita juga tidak tahu harus bagaimana kita mensikapi kejadian yang sedang terjadi. yang lebih tidak tahunya lagi, kadang kita sering salah dalam menghadapi kejadian yang sedang terjadi.


Ketika kita menghadapi suatu masalah, sering kali kita terfokus pada masalahnya sehingga kita lupa untuk memikirkan cara lain dalam memecahkan masalah tersebut atau juga kita sering kali terlalu terpaku dengan masalah dan pemecahannya. sehingga ketika pemecahan yang kita harapkan dapat memecahkan masalah tersebut tidak menyelesaikan masalah, kita terlupakan untuk mencari pemecahan yang lain. seolah-olah sudah tidak ada jalan lain.


Padahal kalo saja ketika kita terbentuk pada masalah dan pemecahan yang ternyata tidak sesuai, kita mau mundur selangkah dan melihat permasalahan dari sudut diluar permasalahan tersebut, mungkin kita akan menemukan bahwa sebenarnya masalah yang kita hadapi mungkin masih lebih ringan dibandingkan dengan masalah yang sama yang dihadapi oleh orang lain.


Andai saja kita mau mundur selangkah dan melihat permasalahan kita dari sudut pandang berbeda, kita akan menemukan bahwa sebenarnya masih banyak jalan untuk menghadapi masalah yang kita hadapi. hanya karena kita terlalu terpaku pada masalah dan pemecahan yang kita harapkan, maka sudut pandang kita menjadi sempit dan seolah-olah sudah tidak ada cara lain dalam memecahkan masalah tersebut.


Ah.. andai saja...


Friday, October 21, 2005

Lebih Nikmat dengan Berbagi

Oleh: Bayu Gawtama

Ia membiarkan putrinya tidur di pangkuannya, matanya menerawang memperhatikan mobil-mobil truk maupun pick up yang membawa sayur-sayuran. Pukul 01.15 dini hari itu, Mbok Dariah, berkutat dengan hawa dingin terminal yang setiap dini hari berubah menjadi pasar kaget. Sebentar ia berlari meninggalkan putrinya yang terlelap untuk mengejar tumpukan sayur di truk atau mobil pick up, seketika, karung besar berisi sayur atau cabai sudah berada di pinggangnya. Setiap hari ia lakukan itu dengan membawa serta putri bungsunya yang masih berusia empat tahun. Sang putri, tentu tak pernah mengerti mengapa ibunya rela melakoni pekerjaan itu, memerangi kantuk, berselimut udara malam yang dingin, kemudian berkeringat saat dan sesudah memanggul karung. Padahal, upah yang didapat darimemanggul karung itu tak seberapa.

Tidak hanya di hari-hari biasa, bahkan di bulan Ramadhan pun ia tetap menjalani pekerjaan kasarnya itu. “Justru kalau bulan puasa, lebih banyak dapat duitnya,” ujarnya singkat. Ya, Ramadhan memang membawa berkah pula bagi seorang Dariah. Jumlah permintaan belanja masyarakat lebih tinggi, sehingga pasar malam lebih ramai. Tidak hanya dua tiga karung yang bisa terangkut olehnya, bahkan di bulan ini bisa mencapai enam karung. “Lumayan, bisa buat buka puasa,” pungung tangannya membasuh peluh di keningnya.

Bagaimana dengan sahur? “Nggak mikirin sahur deh, dapatnya juga nggak seberapa. Makan satu lontong saja sudah syukur,” akunya polos. Sedikit uang yang didapatnya dini hari itu membuatnya berpikir berulang kali untuk membeli sebungkus nasi sahurnya. Hingga akhirnya, lebih sering ia memutuskan untuk tidak makan sahur. Sedangkan untuk tiga anak lainnya di rumah, ia sudah membagi dua nasi dan lauk makanan berbuka untuk makan sahur.

Di lain tempat, Bang Wawan, tukang becak yang biasa mangkal di depan gang rumah ibu saya malah lebih sering tidak makan sahur. Menurutnya, kalau dalam sehari banyak nariknya ia bisa makan sahur bersama lima teman lainnya di satu pangkalan. “Kalau sepi, kadang makan, kadang sebungkus berdua, tapi lebih sering nggak makan”. Ia mengaku sudah biasa tak makan sahur, meski pun ia harus tetap berpuasa saat menjalankan pekerjaannya sebagai tukang becak. Lelah, sudah pasti, tak bertenaga saat mengayuh becak, masuk akal, karena ia tak makan sahur.

Itulah sebabnya, saat saya berkunjung ke rumah ibu, meski tak setiap sore, sering ada makanan berbuka dan beberapa bungkus nasi untuk tukang becak di pangkalan depan gang itu. Hampir semua warga di situ bergantian memberi makanan berbuka atau makan sahur untuk Bang Wawan dan teman-temannya. Lalu bagaimana dengan tukang becak di pangkalan lainnya? Apakah mereka juga makan sahur? Mungkinkah warga sekitarnya cukup peduli dengan orang-orang seperti Bang Wawan?

Seorang kawan bercerita, airmatanya tak henti meleleh sampai menjelang dzuhur setiap kali teringat wajah-wajah polos di panti yatim. Dini hari tadi, ketika waktu sahur ia dan beberapa teman kantornya menyambangi dua panti yatim di Jakarta dengan membawa nasi bungkus untuk makan sahur anak-anak yatim. Pengakuan pengelola pantilah yang membuatnya terus menangis, “Setiap malam saya tidak bisa tidur, mikirin apa yang bisa dimakan untuk sahur mereka.” Menatap polos mata-mata penuh harap milik anak-anak itu, hatinya makin terenyuh. Bagaimana mungkin selama ini ia bisa nikmat menyantap makan sahur dan berbukanya, sementara dini hari itu ia tahu ada banyak anak-anak yang tak punya apapun untuk dimakan.

Melihat kembali meja makan kita yang penuh sesak makanan berbuka, yang terkadang tak habis hingga makan sahur tiba. Sementara kita sudah menyiapkan makanan yang lain untuk sahur. Jadilah tempat sampah persinggahan makanan sisa berbuka. Mungkin, terlalu banyak makanan yang terjejal di mulut ini, menyesaki setiap rongga dalam perut kita. Padahal, pasti lebih nikmat jika kita membaginya.

Saat kita berpuasa, mereka juga berpuasa Ketika tiba waktu berbuka, banyak di antara mereka
yang tetap berpuasa Waktu makan sahur, mereka menatap meja makan dan piring kosong
Tanpa berbagi, nikmatkah santapan kita?

Monday, September 26, 2005

Dan Gerbong Kereta pun bersaksi

"Kemarin kau tak mengaji. Hari ini tak mengaji, tak sembahyang pula kau? mau jadi manusia apa kau nak?" tegur seorang ibu kepada anak lelakinya yang baru berusia sekitar 8 tahun. "Bukannya tak mau sembahyang mak. Di kereta banyak pembeli, kan sayang. Lagipula itu kan rejeki?" sanggah sang anak yang masih menggendong kotak rokok dan permen dagangannya. "Hey ? apa kau bilang? Rejeki tu sudah ada yang mengaturnya. Bukan kau yang menentukan apa kau dapat rejeki atau tidak hari ini. Kalau kau tak berdoa pada-Nya, mungkin esok kau tak seberuntung hari ini?"

Kata-kata itu, sungguh membuat ku terkesima. Sebuah cuplikan fragmen keimanan yang kutangkap hanya beberapa menit saat kuberdiri di Stasiun Kereta Api Pasar Minggu, tak seberapa masa menjelang Maghrib. Ada gemuruh yang menderu di dalam dada ini melihat pemandangan menakjubkan di depanku, terlebih mendengar dialog yang lumayan menggetarkan itu. Betapa tidak, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang masih balita, ditemani putri sulungnya yang berusia tidak lebih dari dua belas tahun, meski tidak serapih muslimah-muslimah yang biasa kutemui di kampus atau perkantoran, tapi ia berusaha untuk menutupi bagian kepalanya dengan jilbab lusuh, bahu membahu bersama sang Ayah berdagang di emperan stasiun KA Pasar Minggu. Sementara anaknya yang lelaki, diberinya tanggungjawab berjualan rokok, tissue dan permen di gerbong KA Jabotabek.

Setiap dini hari mata mereka terjaga mendahului kokok ayam paling pagi untuk mengepak barang-barang yang akan digelar di stasiun kereta api yang berdebu, kadang sesak di pagi dan sore hari, saat jam pergi dan pulang kantor. Tak ada kursi empuk selain alas koran yang tidak jarang membuat pinggang dan tulang bokong mereka pegal-pegal sekaligus panas, jika tak sering-sering bangun, kemudian duduk kembali sekedar melancarkan peredaran darah. Keringat yang keluar tak bisa diukur dari nine to six seperti jam kerja kebanyakan kita. Sedangkan si bocah lelaki keluar masuk dari gerbong ke gerbong, dari pagi hingga malam menjelang dengan segala bentuk bahaya yang senantiasa menanti.

Tapi, tak sedikitpun mereka ragu bahwa Dia-lah yang mengatur semua rizki bagi manusia, tidak terkecuali mereka. Sehingga sedemikian marahnya si ibu setelah mendapat laporan dari si sulung bahwa anak lelakinya sudah dua hari tak mengaji, dan hari ini kedapatan tak sembahyang Dzuhur.

Sahabat, mari kita tengok diri ini. Di pagi hari tak perlu memanggul karung dan dus yang berat, tak perlu menggelar terpal di emperan manapun. Kita hanya perlu naik kendaraan menuju kantor, duduk di kursi yang empuk, mungkin tak ada peluh yang harus dibasuh karena seharian bekerja di ruangan ber-AC, dan tidak jarang masih mendapatkan pelayanan khusus dari office boy.

Namun dengan kondisi yang demikian lebih baik, tidak jarang Dzuhur dan Ashar tertinggal. Bahkan kesempatan Maghrib pun kita lewatkan di perjalanan pulang. Seringkali kesibukan dan banyaknya pekerjaan menjadi alasan untuk tak melafazkan barang satu ayatpun kalimah-Nya. Tak mengertikah kita bahwa mungkin saja Dia yang maha mengatur rizki itu tak lagi memberikan kita semua kesibukan yang hari ini menjadi alasan untuk tak mendekati-Nya?

Sungguh, enggankah kita membiarkan semua pekerjaan, komputer, meja kerja, kursi empuk, telepon yang berdering-dering itu kelak menjadi saksi di hadapan Allah, bahwa mereka pernah ditinggal oleh pemiliknya di waktu-waktu tertentu saat kita bermunajat pada-Nya?

***

Adzan Maghrib pun berkumandang, kuikuti punggung-punggung mereka yang menuruti langkah-langkah kecil menuju mushola.

----------------------------------
(Diambil dari Oase Iman, www.eramuslim.com)

Friday, September 23, 2005

Membangun Budaya Malu

Salah satu ciri fitrah manusia adalah adanya rasa malu. Bila rasa malu hilang, manusia cenderung berbuat seperti binatang bahkan bisa lebih parah lagi. Allah berfirman: "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai". (QS. 7:179).

Kini kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan bahwa manusia sudah benar-benar lebih sesat dari binatang: Seorang anak membunuh ibunya, seorang ayah memperkosa anak perempuannya, anak-anak diperjualbelikan, harga diri dijual demi uang, perempuan rela telanjang di depan umum demi seni body painting, suami istri melakukan perselingkuhan dengan bangganya, dsb.

Dalam suatu hadits, Rasulullah mengatakan: "Rasa malu tidak pernah mendatangkan kecuali kebaikan" (HR. Bukhari-Muslim). "Rasa malu semuanya baik'' (HR. Muslim). Bahkan Abu Sa'id Al Khudri pernah menggambarkan bahwa Rasulullah saw. lebih pemalu dari seorang gadis. Bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai, tampak tanda rasa malu dari wajahnya (HR. Bukhari-Muslim). Dalam kesempatan lain, Rasullah mengkaitkan antara iman dan rasa malu: "Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Prilaku jelek adalah bagian dari kekeringan iman, keringnya iman tempatnya di neraka"(HR. Ahmad).

Imam Ibn Majah menyebutkan sebuah hadits yang menggambarkan betapa rasa malu harus dibudayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Rasulullah bersabda: "Jika Allah swt. ingin menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati membudaya, Allah mencabut dari mereka sikap amanah (kejujuran dan tangung jawab). Bila sikap amanah telah hilang maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para mengkhianat merajalela Allah mencabut rahmatNya. Bila rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam".

Menerangkan makna hadits ini, Syeikh Muhammad Al Ghazali berkata dalam bukunya Khuluqul Muslim: "Bila seorang tidak mampunyai rasa malu dan amanah, ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seorang sampai ke tingkat prilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam" (Khuluqul Muslim, hal.171).

Imam An Nawi menyebutkan bahwa hakikat rasa malu itu muncul dalam bentuk sikap meninggalkan perbuatan jelek, dan perbuatan zhalim. Seorang sufi besar Imam Junaid menerangkan bahwa rasa malu muncul dari melihat besarnya nikmat Allah, sedangkan ia merasa banyak kekurangan dalam mengamalkan ketaatan kapada-Nya. (Riyadhushsholihin, h.246).

Mudah-mudahan kita masih memiliki dan mau membangun rasa malu untuk berbuat yang dzalim. Salah satu cara yang paling sederhana adalah memakai pakaian muslimah atau untuk pria memakai pakaian yang mencirikan muslim menurut kultur setempat, dan aktif dalam kegiatan bernuansa Islam. Rasanya tidak mungkin seorang dengan busana muslimah akan melacur. Tak mungkin seorang yang dengan baju koko mengakhiri weekend-nya di diskotik. Ah, malu rasanya membicarakan aib orang lain padahal kita sering tampil dalam kegiatan agama atau mengirimkan artikel Islam seperti ini. Wallahu ‘alam.

----------------------------------
(Diambil dari Hikmah Republika)

Pemusnah Agama

Rasulullah SAW bersabda, ''Pemusnah agama itu ada tiga. Rasa bangga terhadap diri sendiri (ujub), sifat bakhil (kikir) yang dituruti, dan hawa nafsu yang diikuti.'' (HR Al-Askari dari Ibu Abbas secara marfu'). Ketiga hal yang disinggung Rasulullah SAW dalam hadis ini, bisa jadi sudah bersemayam dalam diri kita, dan kita kemudian termasuk sebagai golongan pemusnah agama. Islam tetap ada, tetapi karakteristik Islam telah musnah di kalangan umatnya karena ulah para pemusnah agama ini.

Sifat ujub yang menjadi unsur pertama pemusnah agama timbul karena seseorang merasa segala nikmat yang diberikan Allah SWT itu hadir atas usaha sendiri. Orang yang sudah memiliki sifat seperti ini akan merasa bangga dengan dirinya, melebihi rasa bangganya terhadap kebesaran Allah. Pada tahap selanjutnya, sifat ujub ini bisa berkembang menjadi riya, dimana seluruh kebaikan yang dilakukannya selalu ingin dibanggakan kepada orang lain. Rasulullah SAW menggolongkan sifat riya ini sebagai bentuk perbuatan syirik kecil. Dari sifat riya akan muncul pula sikap takabur, sebagai sikap yang dirintis Iblis. Jika sifat ini sudah ada pada diri seseorang maka musnahlah kehidupan beragamanya.

Allah SWT juga berfirman, ''Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dan karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan pada lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Ali Imran [3]:180).

Sedangkan unsur yang ketiga adalah hawa nafsu yang diikuti. Secara alamiah, nafsu senantiasa menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan keji dan jahat. Firman-Nya, ''Sesungguhnya nafsu itu menyuruh kepada kejahatan.'' (QS Yusuf [12]: 53). Ibnu 'Athaullah berkata dalam Kitab Alhikam, ''Di antara tanda-tanda menuruti hawa nafsu adalah sikap terburu-buru mengejar harta dan bermalas-malasan mendirikan perintah Allah yang wajib. Hendaklah manusia melazimkan dirinya dengan sifat tawadhu, rendah hati, ikhlas, dan sabar dalam setiap musibah serta bala yang menimpa.''

Untuk menghindari ketiga hal tersebut, setiap Muslim wajib mencermati kembali perbuatan anggota badannya setiap saat, baik itu lidahnya, telinganya, matanya, tangannya, kakinya, perutnya, kemaluannya, bahkan hatinya. Mungkin rintihan sahabat nabi Abu Bakar r.a. bisa kita ikuti sehingga beliau terjaga dari sifat-sifat pemusnah agama. Beliau senantiasa berdoa’: “Ya Allah jadikanlah jiwaku lebih baik dari yang orang ketahui. Dan apabila yang mereka ketahui lebih baik dari keadaanku yang sebenarnya, ampunilah aku.

---------------------------------
(Diambil dari Hikmah Republika)

Friday, August 12, 2005

Cerdas Menghisab Diri

Dikisahkan, ketika melakukan pemantauan terhadap keadaan rakyatnya, Khalifah Abu Bakar RA dengan ditemani oleh beberapa sahabat memasuki lahan pertanian seseorang dari golongan Anshar. Ketika berada di tengah lahan pertanian itu, Abu Bakar melihat seekor burung terbang dari satu pohon kurma ke pohon kurma lainnya dan dari satu pohon ke pohon lainnya. Ia pun duduk dan menangis. Para sahabat pun bertanya kepadanya, ''Wahai khalifah, apa gerangan yang terjadi pada dirimu?'' Abu Bakar menjawab, ''Aku menangis karena burung itu. Ia terbang dengan enaknya dari satu pohon ke pohon lainnya, lalu datang ke sumber air dan hinggap di pohon, kemudian mati tanpa ada hisab dan tanpa ada azab. Aduhai, sekiranya aku menjadi burung.''

Penghisaban atas semua amal perbuatan adalah hal yang pasti bagi setiap manusia. Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa hari penghitungan (yaum al-hisab) adalah haqq. Tidak ada seorang pun yang mampu menghindar dari penghisaban di akhirat kelak. Allah berfirman, ''Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.'' (QS 88: 25-26).

Ketika hari penghisaban tiba, tidak ada lagi saat untuk beramal. Karena itu, setiap manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hari penghisaban dengan memperbanyak amal di dunia. Al-Imam Ali bin Abu Thalib berkata, ''Dunia itu selalu bergerak menjauh dari kehidupan manusia sedangkan akhirat selalu bergerak mendekatinya. Masing-masing dari keduanya mempunyai budak yang setia kepadanya. Maka, jadilah kamu sekalian sebagai budak akhirat dan janganlah kamu sekalian menjadi budak dunia. Sesungguhnya di dunia inilah tempat beramal dan tidak ada penghisaban sedangkan di akhirat nanti adalah saat penghisaban dan bukan tempat beramal.''

Amal yang akan menolong manusia di saat penghisaban nanti adalah amal saleh yang dilandasi dengan niat suci untuk mendapatkan ridha Allah semata. Karena itu, setiap manusia harus pandai melakukan evaluasi terhadap amal yang diperbuatnya di dunia. Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang cerdas adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan apa-apa.'' (HR Tirmidzi).

Pernyataan senada ditegaskan Umar bin Khattab RA, ''Hisablah diri kamu sekalian sebelum dihisab oleh Allah. Dan berhias dirilah (dengan amal) untuk menghadapi ujian terbesar. Sesungguhnya, penghisaban di hari kiamat itu hanya akan terasa ringan bagi orang yang terbiasa menghisab dirinya di dunia.''

Kebiasaan menghisab diri adalah bukti ketakwaan seorang Mukmin. Dengan kebiasaan itu, semoga kita termasuk golongan yang ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, ''Adapun orang yang diberikan kitab (catatan) amalnya dari sebelah kanannya, maka ia akan dihisab dengan penghisaban yang mudah.'' (QS 84: 7-8). Marilah kita menghisab diri, paling tidak saat akhir pekan, agar kita bisa meningkatkan timbangan amal kebaikan dan mengurangi dosa-dosa baik yang terbersit di hati, terungkapkan dalam kata-kata, serta yang tereskpresikan oleh semua panca indra kita.

------------------------------------
(Diambil dari Hikmah Republika)




Harta yang Halal

Rasulullah SAW bersabda: "Akan tiba suatu zaman di mana orang tidak peduli lagi terhadap harta yang diperoleh, apakah ia halal atau haram." (HR Bukhari). Empat belas abad lebih, setelah Rasulullah menyatakan hadist ini, kini kita sedang menyaksikan sebuah kenyataan dimana orang sangat berani melakukan korupsi, penipuan, penggelembungan nilai proyek, pemerasan, penyuapan, pengoplosan BBM, produksi barang bajakan, bermain valas, dsb. Sehingga banyak orang yang menjadi korban karenanya. Bahkan tak jarang orang mengatakan "mencari yang haram aja sulit apalagi yang halal".

Allah SWT sebenarnya telah memanggil hamba-Nya yang mukmin untuk mencari harta yang halal dan tidak makan kecuali yang halal: "Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik, yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu benar-benar menyembah kadapa-Nya (QS. 2:172). Dalam ayat lain Allah berfirman: "Wahai manusia! Makanlah yang halal dan baik dari makanan yang ada di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan,sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu (QS. 2:168).

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari ayat-ayat di atas:
  1. Allah yang menciptakan manusia tentu Dialah yang paling tahu apa yang terbaik bagi manusia. Barang-barang yang Allah haramkan itu bisa dipastikan bila dilanggar akan merusak tubuh kita. Dan kita telah menyaksikan betapa orang yang korupsi, meski sedikit, telah menghancurkan negara dan nasib berjuta rakyat, sebagaimana orang yang mabuk-mabukan telah merusak dirinya, akalnya, dan masa depannya.
  2. Harta yang haram ada dua macam: pertama, haram secara zat, seperti daging babi, bangkai, meniuman yang memabukkan. Kedua, haram secara proses pendapatan, seperti harta hasil korupsi, curian, judi, penipuan, dsb. Kedua macam harta ini sama-sama membawa malapetaka bagi manusia dan kemanusiaan.
  3. Memperoleh harta secara halal adalah perjuangan yang sangat mulia, karena pada ayat di atas, Allah menganggapnya sebagai ekspresi keimanan dan bukti mensyukuri nikmat-Nya.
Rasulullah SAW pernah bercerita tentang seorang yang sedang dalam perjalanan panjang, rambutnya kusut, pakaiannya kotor, ia menadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: Ya Rabb! Ya Rabb! Sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram. Mana mungkin, kata abi, permohonannya akan dikabulkan oleh Allah (HR Muslim). Ketika menyebut hadist ini Ibnu Katsir mengatakan: makanan halal adalah penyebab diterimanya doa dan ibadah, sebagaimana makanan haram penyebab ditolaknya doa dan ibadah.

Mengingat saat ini begitu banyak makanan yang terkontaminasi oleh zat yang diharamkan, bahkan coklat dan ice cream sekalipun, maka sudah selayaknya kita lebih memperhatikan siapa produsen/pededagangnya, apakah ada label/sertifikat halal atau tidak, dan bagaimanana komposisinya. Semoga kita diberikan kelapangan dan kekuatan oleh Allah untuk mendapatkan rizki dengan jalan yang halal. Dan semoga kita juga bisa saling mengingatkan ketika akan mengkonsumsi makanan maupun minuman sehingga terhindar dari zat yang diharamkan.

-------------------------------------------------
(Diambil dari Hikmah Republika)