Monday, February 28, 2005

Kebenaran Tubuh Kita

Kita terlahir dengan dua mata didepan sebab kita tak selalu harus lihat kebelakang, tapi menatap kemuka, bahkan dibalik kita sendiri.

Kita dilahirkan dengan dua telinga - satu kiri, satu kanan sehingga kita bisa mendengar kedua belah pihak, mengumpulkan baik pujian maupun kritik, agar tahu mana yang benar.

Kita terlahir dengan otak tersembunyi dalam tengkorak jadi tak perduli betapapun miskin, kita masih tetap kaya, sebab tak seorangpun mampu mencuri isi otak kita, terisi lebih banyak perhiasan dan cincin daripada yang bisa kau pikirkan.

Kita terlahir dengan dua mata, dua kuping, tapi satu mulut, sebab mulut itu senjata tajam, bisa menyakiti, merayu, membunuh, ingatlah petuah ini: bicara sedikit, lebih banyak dengar dan lihat.

Kita terlahir dengan hanya satu hati, terlindungi dalam kerangka iga, itu mengingatkan agar kita menghargai dan memberikan cinta dari dalam.

Mari kita menghargai apa yang miliki hari ini, Diantara teman sahabat yang tawa ria dan saling mendengarkan.
(author unknown)

Bagaimana Memahami Ayat Alloh di Alam


Dalam Alqur'an dinyatakan bahwa orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak mengenali atau tidak menaruh kepedulian akan ayat atau tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-Nya. Sebaliknya, ciri menonjol pada orang yang beriman adalah kemampuan memahami tanda-tanda dan bukti-bukti kekuasaan sang Pencipta tersebut. Ia mengetahui bahwa semua ini diciptakan tidak dengan sia-sia, dan ia mampu memahami kekuasaan dan kesempurnaan ciptaan Allah di segala penjuru manapun.

Pemahaman ini pada akhirnya menghantarkannya pada penyerahan diri, ketundukan dan rasa takut kepada-Nya. Ia adalah termasuk golongan yang berakal, yaitu "…orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali 'Imraan, 3:190-191).

Di banyak ayat dalam Alqur'an, pernyataan seperti, "Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?", "terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal," memberikan penegasan tentang pentingnya memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah telah menciptakan beragam ciptaan yang tak terhitung jumlahnya untuk direnungkan. Segala sesuatu yang kita saksikan dan rasakan di langit, di bumi dan segala sesuatu di antara keduanya adalah perwujudan dari kesempurnaan penciptaan oleh Allah, dan oleh karenanya menjadi bahan yang patut untuk direnungkan.

Satu ayat berikut memberikan contoh akan nikmat Allah ini: "Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. An-Nahl, 16:11)

Marilah kita berpikir sejenak tentang satu saja dari beberapa ciptaan Allah yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni kurma. Sebagaimana diketahui, pohon kurma tumbuh dari sebutir biji di dalam tanah. Berawal dari biji mungil ini, yang berukuran kurang dari satu sentimeter kubik, muncul sebuah pohon besar berukuran panjang 4-5 meter dengan berat ratusan kilogram. Satu-satunya sumber bahan baku yang dapat digunakan oleh biji ini ketika tumbuh dan berkembang membentuk wujud pohon besar ini adalah tanah tempat biji tersebut berada.

Bagaimanakah sebutir biji mengetahui cara membentuk sebatang pohon? Bagaimana ia dapat berpikir untuk menguraikan dan memanfaatkan zat-zat di dalam tanah yang diperlukan untuk pembentukan kayu? Bagaimana ia dapat memperkirakan bentuk dan struktur yang diperlukan dalam membentuk pohon? Pertanyaan yang terakhir ini sangatlah penting, sebab pohon yang pada akhirnya muncul dari biji tersebut bukanlah sekedar kayu gelondongan. Ia adalah makhluk hidup yang kompleks yang memiliki akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah.

Akar ini memiliki pembuluh yang mengangkut zat-zat ini dan yang memiliki cabang-cabang yang tersusun rapi sempurna. Seorang manusia akan mengalami kesulitan hanya untuk sekedar menggambar sebatang pohon. Sebaliknya sebutir biji yang tampak sederhana ini mampu membuat wujud yang sungguh sangat kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah.

Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebutir biji ternyata sangatlah cerdas dan pintar, bahkan mungkin lebih jenius daripada kita. Namun, apakah sumber kecerdasan tersebut? Mungkinkah sebutir biji memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa?

Tak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki satu jawaban: biji tersebut telah diciptakan oleh Dzat yang memiliki kemampuan membuat sebatang pohon. Dengan kata lain biji tersebut telah diprogram sejak awal keberadaannya. Semua biji-bijian di muka bumi ini ada dalam pengetahuan Allah dan tumbuh berkembang karena Ilmu-Nya yang tak terbatas.

Dalam sebuah ayat disebutkan: "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)." (QS. Al-An'aam, 6:59).

Biji hanyalah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diciptakan-Nya di alam semesta. Ketika manusia mulai berpikir tidak hanya menggunakan akal, akan tetapi juga dengan hati mereka, dan kemudian bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana", maka mereka akan sampai pada pemahaman bahwa seluruh alam semesta ini adalah bukti keberadaan dan kekuasaan Allah SWT.

------------------------------------------------------------------------
(Diambil dari www.harunyahya.com)

Khusyuk dalam Sholat

Seorang ahli ibadah bernama Isam Bin Yusuf, sangat warak dan khusyuk solatnya. Namun, dia selalu khuatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasainya kurang khusyuk.

Pada suatu hari, Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Assam dan bertanya, "Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan sholat?".
Hatim berkata, "Apabila masuk waktu solat, aku berwudhuk zahir dan batin."
Isam bertanya, "Bagaimana wudhuk zahir dan batin itu?"

Hatim berkata, " Wudhuk zahir sebagaimana biasa ia itu membasuh semua anggota wudhuk dengan air". Sementara wudhuk batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara :
1. Bertaubat
2. Menyesali dosa yang telah dilakukan
3. Tidak tergila-gilakan dunia
4. Tidak mencari/mengharap pujian orang (riya')
5. Tinggalkan sifat berbangga
6. Tinggalkan sifat khianat dan menipu
7. Meninggalkan sifat dengki."
Seterusnya Hatim berkata, "Kemudian aku pergi ke masjid, aku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku rasakan aku sedang berhadapan dengan Allah, Syurga di sebelah kananku, Neraka di sebelah kiriku, Malaikat Maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula aku seolah-olah berdiri di atas titian 'Siratal mustaqim' dan menganggap bahawa sholatku kali ini adalah sholat terakhir bagiku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik."

"Setiap bacaan dan doa dalam solat, ku faham maknanya, kemudian aku rukuk dan sujud dengan tawadhuk, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. beginilah aku bersolat selama 30 tahun."

Apabila Isam mendengar, menangislah dia kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

Kisah Sebuah Cangkir


Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencarihadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuahcangkir yang cantik. "Lihat cangkir itu," kata sinenek kepada suaminya. "Kau benar, inilahcangkir tercantik yang pernah aku lihat," ujar si kakek.

Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara "Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.

Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop! Stop! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata "belum !"lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata "belum !"

Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir,selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum.Setelah dingin aku diberikan kepada seorangwanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop !

Aku berteriak. Wanita itu berkata "belum !" Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku.Ia terus membakarku.

Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin. Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena dihadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.

Renungan :
Seperti inilah Tuhan membentuk kita. Pada saat Tuhan membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara bagi-Nya untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan-Nya.

"Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan,apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab Anda tahu bahwa ujian terhadap kita menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya Anda menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun."

Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena Dia sedang membentuk Anda. Bentukan-bentukan ini memang menyakitkan tetapi setelah semua proses itu selesai, Anda akan melihat betapa cantiknya Tuhan membentuk Anda

Tuesday, February 22, 2005

Berhijrah

Pada suatu malam, empat belas abad yang silam, sekelompok pemuda kafir Quraisy mengepung sebuah rumah di kota Makkah. Mereka ingin memastikan bahwa pemilik rumah itu tidak akan melihat terbitnya sang surya lagi esok pagi. Ya, mereka akan membunuhnya malam ini. Para pemuda itu satu persatu mulai menyelinap masuk ke dalam rumah. Perlahan mereka segera menuju ke sosok laki-laki berselimut yang sedang tidur di atas sebuah ranjang. Setelah menyibakkan selimut tersebut, para pemuda itu terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa orang yang mereka temukan itu adalah Ali putra Abi Thalib yang sudah rela mempertaruhkan nyawanya sebagai perisai sang pemilik rumah, yang tak lain adalah Rasulullah SAW.

Pergi kemanakah Rasulullah saat itu? Menjelang larut malam, beliau ternyata sudah keluar menuju rumah Abu Bakar. Keduanya akan pergi ke Yastrib menyusul orang-orang beriman dari Makkah yang sudah berangkat terlebih dahulu. Mereka memilih arah Selatan menuju gua Tsur sebagai tempat persinggahan sementara untuk mengecoh kaum kafir Quraisy yang mengejar mereka tanpa kenal lelah. Betapa tidak, jika Muhammad berhasil menyebarkan agama baru yang diajarkannya itu di Yastrib, penduduk Makkah bisa ikut terpengaruh dan pada akhirnya eksistensi agama nenek moyang akan terancam. Hanya pertolongan Allah-lah yang menyelamatkan dua orang yang bersahabat karib itu dari segala marabahaya yang menghadang. Dan hanya atas izin Allah juga mereka akhirnya sampai di Yastrib dengan selamat.
***
Kisah di atas adalah sedikit penggalan dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dan kaum Muhajirin dari Makkah ke Yastrib -yang akhirnya bernama Madinah- untuk menyongsong kehidupan yang lebih tenang dalam menjalankan ajaran Islam dan bebas dari tekanan pihak manapun. Tak heran kalau pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra, para sahabat menjadikan peristiwa ini sebagai titik awal sistem kalender Islam, untuk menandakan pada saat itulah ummat Islam mulai bangkit meninggalkan kehidupan yang jahiliyah menuju kehidupan yang penuh pencerahan dari ajaran Islam.

Waktu sudah berjalan lebih dari 14 abad sejak peristiwa hijrah tersebut. Ini adalah umur yang cukup panjang untuk kelangsungan sebuah peradaban. Selama ini, Islam sudah mengalami banyak hal. Susah senang, maju mundur, serta timbul tenggelam. Kita tentu ingat bahwa kekhalifahan ummat Islam pernah menjadi negara adidaya yang disegani. Islam juga pernah memberi warna tersendiri pada tatanan kehidupan dan kebudayaan berbagai bangsa di muka bumi ini. Dunia kedokteran pun tidak akan pernah lupa akan kehebatan Ibnu Sina, ahli sejarah begitu mengakui kepiawaian Ibnu Khaldun, serta kejeniusan Jabir Ibnu Hayyan tidak diragukan lagi oleh ahli kimia sedunia. Tentu akan tertulis satu daftar panjang jika disebutkan bukti-bukti kegemilangan Islam yang lainnya.

Dan renungkanlah, bagaimanakah keadaan Islam sekarang? Apakah kejayaan itu masih berada di tangan kaum Muslimin?Untuk mengingatkan kita, Imam Hasan Al Banna pernah mengatakan, "Sesungguhnya rahasia kemunduran ummat Islam karena jauhnya merek dari 'dien' (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya, itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu." Sungguh kita tidak pernah menginginkan kemunduran Islam seperti yang pernah dikhawatirkan tokoh Mesir ini. Kita tidak ingin Islam dipandang sebelah mata lagi oleh dunia. Kita ingin melihat Al Quran benar-benar dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari oleh orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan kita tentu ingin menyaksikan pengikut Muhammad ini benar-benar bersatu dalam ukhuwah Islamiyah yang solid.

Mengutip salah satu nasihat yang pernah disampaikan Aa Gym, "Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil dan mulailah dari saat ini."Perjalanan panjang selalu dimulai dengan satu langkah kecil. Untuk menciptakan suatu perubahan besar tentu dimulai dengan mengubah hal-hal kecil yang menjadi komponen penyusunnya. Tegaknya Islam tentu dimulai dari hijrahnya kita -masing-masing pribadi Muslim- kembali ke jalan-Nya. Dan janganlah tergelitik untuk menghadirkan tujuan-tujuan lain yang bisa menjauhkan kita dari jalan-Nya itu. Cukuplah Allah bagi kita sebagai tujuan yang tiada duanya. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujuinya" (HR. Bukhari)

Wahai teman, memasuki lembaran ke-1426 H ini, hendaknya bisa kita jadikan sebagai salah satu momentum menghijrahkan diri menuju arah yang lebih baik. Mari kita tengok sejenak ke belakang untuk bermuhasabah dari setiap kejadian. Apa saja yang sudah kita lakukan untuk memperkuat pilar-pilar Islam? Apakah Rukun Iman yang kita ucapkan cuma sekadar pengakuan tanpa bukti? Apakah kita melaksanakan Rukun Islam hanya sebatas ritual tanpa makna? Apa yang sudah kita lakukan sebagai hamba Allah? Dan yang tak kalah penting, apakah kita sudah menjadi orang yang beruntung di hadapan-Nya? Bukankah orang beruntung yang dimaksud itu adalah orang yang pada hari ini lebih baik keimanannya daripada hari-hari sebelumnya?
------------------------------------------------------------------------
(Disarikan dari Oase Iman, http://www.eramuslim.com/)

Bidadari Surga itu...

Menjelang perang Uhud dimulai, ia bersama suaminya, Zaid bin Ashim dan kedua anaknya, Habib dan Abdullah keluar ke bukit Uhud. Lalu Rasulullah saw bersabda kepada mereka, "Semoga Allah memberikan berkah kepadamu semua." Setelah itu wanita bidadari perang uhud itu berkata kepada beliau, "Berdo'alah kepada Allah semoga kami dapat menemani engkau di surga kelak, ya Rasulullah!" Lalu Nabi saw berdo'a, "Ya Allah jadikanlah mereka itu teman-temanku di Surga." Maka wanita itupun berkata lantang, "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku."

Dialah Ummu Amarah yang dikenal dengan nama Nusaibah bin Ka'ab Al Maziniay yang menjadi bidadari surga karena perannya membela Rasulullah saat pasukan muslimin terdesak pada perang Uhud. Bersama Mush'ab bin Umair -yang kemudian menemui syahid setelah mendapatkan puluhan tusukan di tubuhnya- Nusaibah menghadang Qam'ah, orang yang dipersiapkan membunuh Rasulullah dalam perang tersebut. Nusaibah sendiri harus menderita dengan dua belas tusukan dan salah satunyamengenai lehernya.

Kata-kata Nusaibah "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku" setelah ia mendapati Rasulullah mendoa'kan dirinya dan keluarganya menjadi teman-teman Rasul di surga, terdengar begitu tegar dengan kesan yang amat mendalam. Mungkin karena ketidakpeduliannya terhadap urusan dunia dengan segala apa yang bakal menimpanya itulah yang kemudian menjadikannya salah seorang bidadari di surga.

Kini, 15 abad setelah Nusaibah tiada, masihkah ada diantara kita yang berani dengan lantang dan mantap mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan Nusaibah. Masihkah ada diantara kita yang tidak mempedulikan persoalan dunia dan apapun yang dikehendaki Allah selama kita di dunia menimpa diri ini. Mungkin ada, tapi entah dimana dan siapa.

Kalaupun ada, yang jelas dia adalah Nusaibah-Nusaibah abad modern. Kalaupun ada juga, ia tentu tidak akan bersaksi bahwa dialah orangnya, karena seperti Nusaibah bin Ka'ab, ia tidak pernah bersaksi bahwa ia adalah pembela Rasulullah dan agama Allah, melainkan Rasulullah lah yang memberikan kesaksian, "Tidaklah aku menoleh ke kanan dan ke kiri pada peperangan Uhud melainkan aku melihat Nusaibah (Ummu Amarah) berperang membelaku." (Al Ishabah).

Dimana Nusaibah kini, yang siap menyerahkan seluruh hidupnya untuk membela Allah dan Rasul-Nya, yang menjadikan seluruh anggota keluarga adalah mujahid pejuang Allah, yang lebih mengutamakan indahnya surga Allah daripada kenikmatan-kenikmatan dunia yang sesaat dan serba semu, yang tidak pernah khawatir dan merasa takut tidak mendapatkan kesenangan di dunia, karena dimatanya, kesenangan menjadi teman Rasulullah di Surga menjadi keutamaannya.

Dimana Nusaibah kini, yang Allah dengan segala janjinya lebih ia yakini dari segala kepentingan dan urusan dunianya, yang menikah dengan suami yang juga siap menyerahkan hidupnya untuk Allah semata, yang siap menjadikan anak-anaknya tameng Rasulullah di setiap medan perang.

Bisa jadi, bila ada Nusaibah kini, ia akan siap kehilangan segala kenikmatan dunianya, ia rela menjual kesenangan dunianya untuk harga yang lebih mahal, yakni surga Allah. Ia tak pernah bersedih, murung ataupun marah akan setiap ketentuan Allah atas dirinya, ia percaya bahwa Allah akan bersikap adil dengan segala kehendaknya atas setiap manusia. Ia begitu yakin, jika tidak ia dapatkan kenikmatan dunia dengan segala perhiasannya, pasti ia akan mendapatkan yang jauh lebih indah kelak sebagai balasan dari amal dan kesabarannya menerima semua ketentuan-Nya. Tapi, dimanakah Nusaibah kini? Mungkin mereka yang dengan ikhlasnya terjun ke Aceh menjadi tenaga2 ustadzah, tenaga pendidik, tenaga medis, tenaga dapur umum... yang siap menerima tertimpa wabah penyakit, kelaparan, bahkan mungkin syahid di jalan-Nya.

Wallahu a'lam bishshowaab .
--------------------------------------------------------------------
(Diambil dari www.eramuslim.com)

Mantel Kuning

Rinai hujan selalu membuat saya terharu. Rintiknya, mengingatkan pada masa-masa yang telah lalu. Begitu pula hari ini.

Dulu, sewaktu kecil, saya ingin sekali punya mantel hujan. Kuning, itu warna yang saya inginkan. Teman-teman saya yang lain telah memilikinya, dan mereka tampak gagah dengan mantel itu. Untuk anak kelas 2 SD, semua yang berwarna cerah, akan selalu tampak indah. Namun sayang, Ibu tak punya cukup uang untuk membelinya. Walau sempat kecewa, saya harus menurut, dan menahan keinginan untuk mempunyai mantel kuning itu.

Walau begitu, saya tetap kesal. Dan rasa itu memuncak ketika saya harus pulang dari sekolah. Hari itu hujan begitu deras. Saya makin kecewa dengan Ibu. Sebab, jika ada mantel, tentu saya tak perlu kena hujan, dan bisa bergabung bersama teman-teman yang lain. Kesal, dan marah, begitulah yang saya rasakan saat itu. Sementara yang lain tertawa dan menikmati hujan, saya harus berjalan pulang dengan tubuh yang basah kuyup.

Ah..di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Ibu. Dia tampak membawakan payung untuk saya. Karena terlanjur marah, saya tak menerima payung itu, dan ngambek, untuk tetap pulang tanpa payung. Walau begitu, ia tampak ingin melindungi saya dengan payungnya. Mendekap, agar saya tak terlalu basah terkena hujan. Hujan makin deras, dan kami pun berjalan pulang, walau saya tetap ngambek dan menolak untuk di payungi.

Sesampainya di rumah, tingkah itu terus saya perbuat. Saya tetap menolak untuk berganti pakaian. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, hal itu saya selesaikan. Ibu, kemudian datang dengan handuk, dan langsung menyelubungi saya dengan handuk itu. Ada kehangatan yang segera menyergap. Saya menjadi lebih tenang. Tetap, tak ada kata-kata yang keluar dari Ibu, selain terus menghangatkan saya dengan handuk itu. Tangannya terus membersihkan setiap air hujan yang ada di badan. Diseka nya kepala saya, agar tak nanti tak membuat sakit.
Masih dalam diam, Ibu kemudian memberikan pakaian ganti. Setelah itu, dia masih menyodorkan teh manis hangat buat saya. Ya, segelas teh manis, sebab, susu coklat, adalah hal yang jarang saya rasakan saat itu. Ya, kehangatan kembali hadir dalam tubuh. Walau saya mungkin tak mengerti apapun, saya yakin, ada kehangatan lain yang diberikan Ibu saat itu.
***
Ya, teman, begitulah. Ibu mungkin tak mampu membelikan saya mantel kuning seperti yang saya impikan. Namun, payungnya telah membuat saya aman. Ibu mungkin tak mampu membelikan saya mantel kuning untuk terhindar dari hujan, namun, dekapannya membuat saya terhindar dari apapun.
Ibu mungkin tak mampu membelikan saya mantel kuning itu, namun, handuk hangatnya melebihi setiap kehangatan yang mampu diberikan setiap mantel.
Ibu mungkin tak mampu membelikan mantel kuning, namun, usapan lembutnya, adalah segalanya buat saya.
Ibu mungkin tak menjemput saya dengan mobil atau kendaraan lain, namun lingkaran tangannya di tubuh saya, adalah dekapan yang paling indah. Ibu mungkin tak bisa memberikan susu coklat, namun, teh manisnya, lebih berharga dari apapun. Ibu mungkin tak bisa memberikan saya banyak hal lain, namun, dekapan, usapan, uluran tangan, perhatian, kasih sayang, sudah cukup sebagai penggantinya.
Ya, rintik hujan selalu membuat saya terharu. Terima kasih buat Ibu yang tak membelikan saya mantel kuning. Karena, apa yang telah diberikannya selama ini, jauh melampaui semuanya.