Tuesday, February 22, 2005

Berhijrah

Pada suatu malam, empat belas abad yang silam, sekelompok pemuda kafir Quraisy mengepung sebuah rumah di kota Makkah. Mereka ingin memastikan bahwa pemilik rumah itu tidak akan melihat terbitnya sang surya lagi esok pagi. Ya, mereka akan membunuhnya malam ini. Para pemuda itu satu persatu mulai menyelinap masuk ke dalam rumah. Perlahan mereka segera menuju ke sosok laki-laki berselimut yang sedang tidur di atas sebuah ranjang. Setelah menyibakkan selimut tersebut, para pemuda itu terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa orang yang mereka temukan itu adalah Ali putra Abi Thalib yang sudah rela mempertaruhkan nyawanya sebagai perisai sang pemilik rumah, yang tak lain adalah Rasulullah SAW.

Pergi kemanakah Rasulullah saat itu? Menjelang larut malam, beliau ternyata sudah keluar menuju rumah Abu Bakar. Keduanya akan pergi ke Yastrib menyusul orang-orang beriman dari Makkah yang sudah berangkat terlebih dahulu. Mereka memilih arah Selatan menuju gua Tsur sebagai tempat persinggahan sementara untuk mengecoh kaum kafir Quraisy yang mengejar mereka tanpa kenal lelah. Betapa tidak, jika Muhammad berhasil menyebarkan agama baru yang diajarkannya itu di Yastrib, penduduk Makkah bisa ikut terpengaruh dan pada akhirnya eksistensi agama nenek moyang akan terancam. Hanya pertolongan Allah-lah yang menyelamatkan dua orang yang bersahabat karib itu dari segala marabahaya yang menghadang. Dan hanya atas izin Allah juga mereka akhirnya sampai di Yastrib dengan selamat.
***
Kisah di atas adalah sedikit penggalan dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dan kaum Muhajirin dari Makkah ke Yastrib -yang akhirnya bernama Madinah- untuk menyongsong kehidupan yang lebih tenang dalam menjalankan ajaran Islam dan bebas dari tekanan pihak manapun. Tak heran kalau pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra, para sahabat menjadikan peristiwa ini sebagai titik awal sistem kalender Islam, untuk menandakan pada saat itulah ummat Islam mulai bangkit meninggalkan kehidupan yang jahiliyah menuju kehidupan yang penuh pencerahan dari ajaran Islam.

Waktu sudah berjalan lebih dari 14 abad sejak peristiwa hijrah tersebut. Ini adalah umur yang cukup panjang untuk kelangsungan sebuah peradaban. Selama ini, Islam sudah mengalami banyak hal. Susah senang, maju mundur, serta timbul tenggelam. Kita tentu ingat bahwa kekhalifahan ummat Islam pernah menjadi negara adidaya yang disegani. Islam juga pernah memberi warna tersendiri pada tatanan kehidupan dan kebudayaan berbagai bangsa di muka bumi ini. Dunia kedokteran pun tidak akan pernah lupa akan kehebatan Ibnu Sina, ahli sejarah begitu mengakui kepiawaian Ibnu Khaldun, serta kejeniusan Jabir Ibnu Hayyan tidak diragukan lagi oleh ahli kimia sedunia. Tentu akan tertulis satu daftar panjang jika disebutkan bukti-bukti kegemilangan Islam yang lainnya.

Dan renungkanlah, bagaimanakah keadaan Islam sekarang? Apakah kejayaan itu masih berada di tangan kaum Muslimin?Untuk mengingatkan kita, Imam Hasan Al Banna pernah mengatakan, "Sesungguhnya rahasia kemunduran ummat Islam karena jauhnya merek dari 'dien' (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya, itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu." Sungguh kita tidak pernah menginginkan kemunduran Islam seperti yang pernah dikhawatirkan tokoh Mesir ini. Kita tidak ingin Islam dipandang sebelah mata lagi oleh dunia. Kita ingin melihat Al Quran benar-benar dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari oleh orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan kita tentu ingin menyaksikan pengikut Muhammad ini benar-benar bersatu dalam ukhuwah Islamiyah yang solid.

Mengutip salah satu nasihat yang pernah disampaikan Aa Gym, "Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil dan mulailah dari saat ini."Perjalanan panjang selalu dimulai dengan satu langkah kecil. Untuk menciptakan suatu perubahan besar tentu dimulai dengan mengubah hal-hal kecil yang menjadi komponen penyusunnya. Tegaknya Islam tentu dimulai dari hijrahnya kita -masing-masing pribadi Muslim- kembali ke jalan-Nya. Dan janganlah tergelitik untuk menghadirkan tujuan-tujuan lain yang bisa menjauhkan kita dari jalan-Nya itu. Cukuplah Allah bagi kita sebagai tujuan yang tiada duanya. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujuinya" (HR. Bukhari)

Wahai teman, memasuki lembaran ke-1426 H ini, hendaknya bisa kita jadikan sebagai salah satu momentum menghijrahkan diri menuju arah yang lebih baik. Mari kita tengok sejenak ke belakang untuk bermuhasabah dari setiap kejadian. Apa saja yang sudah kita lakukan untuk memperkuat pilar-pilar Islam? Apakah Rukun Iman yang kita ucapkan cuma sekadar pengakuan tanpa bukti? Apakah kita melaksanakan Rukun Islam hanya sebatas ritual tanpa makna? Apa yang sudah kita lakukan sebagai hamba Allah? Dan yang tak kalah penting, apakah kita sudah menjadi orang yang beruntung di hadapan-Nya? Bukankah orang beruntung yang dimaksud itu adalah orang yang pada hari ini lebih baik keimanannya daripada hari-hari sebelumnya?
------------------------------------------------------------------------
(Disarikan dari Oase Iman, http://www.eramuslim.com/)