Cinta Abu Bakar
Di gua Tsur wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar. "Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua". Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar "Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah".
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki mulia yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut... mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan sepakat untuk bergantian berjaga. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya, cinta... Sejeda kemudian, Muhammad tertidur di pangkuan Abu Bakar. Dalam senyapnya malam, wajah Abu Bakar muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. "Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan siapapun menganggumu".
Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih yang sangat kelelahan itu. Abu Bakar meringis ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini" suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
"Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun" potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
"Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?"
"Seekor ular baru saja menggigit saya wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat"
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibirnya bergerak "Mengapa engkau tidak menghindarinya?"
"Saya khawatir membangunkanmu dari lelap" jawab Abu Bakar. Ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Rasulullah berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
"Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan". Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Rasulullah meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu.
"Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia seperti mu. Bagaimana mungkin?" nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
******
Abu Bakar adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar bahwa Nabi telah wafat. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur "Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati".
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona saudaraku?
(Diambil dari www.eramuslim.com)
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki mulia yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut... mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan sepakat untuk bergantian berjaga. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya, cinta... Sejeda kemudian, Muhammad tertidur di pangkuan Abu Bakar. Dalam senyapnya malam, wajah Abu Bakar muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. "Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan siapapun menganggumu".
Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih yang sangat kelelahan itu. Abu Bakar meringis ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini" suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
"Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun" potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
"Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?"
"Seekor ular baru saja menggigit saya wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat"
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibirnya bergerak "Mengapa engkau tidak menghindarinya?"
"Saya khawatir membangunkanmu dari lelap" jawab Abu Bakar. Ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Rasulullah berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
"Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan". Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Rasulullah meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu.
"Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia seperti mu. Bagaimana mungkin?" nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
******
Abu Bakar adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar bahwa Nabi telah wafat. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur "Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati".
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona saudaraku?
(Diambil dari www.eramuslim.com)
<< Home