Friday, September 24, 2004

TIGA LELAKI BERJIWA MALAIKAT

Malam hari raya Idul Fitri telah tiba. Kota Damaskus terang benderang oleh cahaya lampu beraneka warna. Takbir bergemuruh terdengar membahana. Dalam sebuah rumah yang sederhana, seorang wanita berjilbab putih berkata kepada suaminya.

"Abu Abdillah suamiku, besok hari raya. Anak kita tidak memiliki pakaian baru seperti anak-anak tetangga lainnya. Ini semua disebabkan oleh tindakan borosmu!" "Aku tidak boros, aku hanya menginfaqkan hartaku dalam kebaikan dan demi membantu orang-orang miskin yang membutuhkan. Ini bukan suatu pemborosan, Ummu Abdillah," jawab suaminya. "Baiklah, kumohon sekarang tulislah surat dan kirim kepada salah seorang sahabatmu yang baik hati dan ikhlas, agar mereka menyisihkan sebagian hartanya pada kita. Jika keadaan kita membaik, insya Allah akan kita ganti."

Abu Abdillah memiliki dua teman karib yang berhati ikhlas, Hamdi dan Usamah. Mendengar permintaan isterinya itu ia segera menulis surat, lalu memberikan pada pembantunya agar membawa ke tempat sahabatnya, Hamdi. Pembantu itu lalu pergi ke tempat Hamdi menyerahkan surat yang ditulis tuannya. Hamdi membacanya dengan seksama, segera ia tahu bahwa sahabatnya yang pemurah sedang dalam kesempitan dan kesusahan, tidak memiliki apa-apa. Hamdi berkata pada utusan Abu Abdillah, "Aku tahu tuanmu menginfaqkan semua hartanya dalam kebaikan. Ambillah kantong ini dan katakan pada tuanmu, hanya inilah harta yang aku miliki pada malam hari raya ini."Pembantu Abu Abdillah bergegas kembali kepada tuannya dan menyerahkan kantong pemberian Hamdi. Abu Abdillah membuka kantong itu. Ternyata berisi seratus dinar. Ia berkata pada isterinya, "Ummu Abdillah, lihat ini. Allah telah mengantarkan seratus dinar pada kita. "Sang isteri pun gembira dan berkata pada suaminya, "Cepatlah pergi ke pasar untuk membelikan pakaian dan sandal baru untuk anak-anak kita. Jangan lupa beli daging dan makanan."

Pada saat Abu Abdillah bersiap-siap hendak pergi ke pasar terdengar seseorang mengetuk pintu, ternyata yang datang adalah pembantu sahabatnya, Usamah. Ia datang dengan membawa surat minta pertolongan Abu Abdillah agar berkenan meminjami uang untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo. Tanpa pikir panjang, Abu Abdillah langsung menyerahkan kantong yang ada di tangannya pada pembantu Usamah. Ia menyerahkan semua tanpa mengambil barang satu dinar pun. "Katakan pada Usamah, tuanmu. Segera lunasi hutangnya malam ini juga," pesan Abu Abdillah pada pembantu itu. Mengetahui hal itu, terang saja Ummu Abdillah marah pada Abdi Abdillah yang lebih mementingkan sahabatnya daripada anak-anaknya. "Kau ini tega melihat anak kita bersedih dan kelaparan. Kalaupun kau membantu Usamah, kenapa tidak ambil setengah dari uang itu saja? " ucap Ummu Abdillah sewot.

Sang suami menjawab, "Temanku meminta pertolonganku, bagaimana mungkin aku tidak memberinya? Aku juga tidak tahu apakah uang dalam kantong itu cukup untuk melunasi hutangnya atau tidak."

Ummu Abdillah terdiam dan beristighfar untuk meredam kejengkelan pada suaminya yang terlalu baik pada orang lain. Beberapa jam kemudian terdengar orang mengetuk pintu. Abu Abdillah membuka pintu. Ia kaget bukan kepalang, ternyata yang datang adalah sahabatnya, Hamdi. Serta merta ia memeluknya dan menyambutnya dengan hangat lalu mempersilakan masuk. Setelah duduk Hamdi berkata, "Aku datang untuk bertanya kepadamu tentang kantong ini. Apakah kantong ini yang aku kirim padamu dan di dalamnya ada seratus dinar?" Abu Abdillah mengamati kantong itu penuh seksama. Dengan kaget ia berkata, "Ya..ya..benar. Ini adalah kantong itu. Ceritakan padaku, Hamdi, bagaimana kantong ini bisa kembali lagi padamu?"

Hamdi lalu bercerita, "Ketika pembantumu datang kepadaku membawa suratmu, aku berikan kantong itu. Dan itu adalah satu-satunya harta yang aku punya. Karena aku tidak punya apa-apa lagi, maka aku langsung minta bantuan pada Usamah. Dan betapa terkejutnya aku ketika Usamah memberikan kantong yang aku kirim kepadamu tanpa kurang satu dinar pun. Aku takjub, untuk lebih yakin apakah benar kantong ini yang aku berikan kepadamu, maka aku datang ke sini untuk menguak rahasia ini." Abu Abdillah tertawa dan berkata, "Usamah lebih mengutamakan kamu daripada dirinya sendiri dan memberikan kantong itu, sebagaimana kamu lebih mengutamakan diriku daripada dirimu sendiri, Hamdi." "Dan kamu lebih mengutamakan Usamah atas dirimu dan keluargamu. Apa pendapatmu, Abu Abdillah, jika kita bagi uang ini bertiga?" kata Hamdi sambil tersenyum. Abu Abdillah menjawab, "Barakallah fika, semoga Allah memberkahimu, Hamdi." Akhirnya, uang seratus dinar itu dibagi tiga.

Kisah keluhuran budi tiga lelaki ini didengar oleh Khalifah. Subhanallah, dan Khalifah sangat tersentuh mendengarnya. Masih ada di antara umat Muhammad SAW yang berjiwa mulia laksana malaikat. Khalifah langsung memerintahkan bendaharawan negara untuk memberikan hadiah pada tiga lelalaki berjiwa malaikat itu dengan masing-masing sepuluh ribu dinar. Begitu menerima uang dari Khalifah, Abu Abdillah langsung sujud syukur lalu menemui isterinya dengan muka berseri-seri, "Ummi Abdillah, sekarang lihatlah, apa pendapatmu, apakah Allah menelantarkan kita?" Sang istri menjawab, "Tidak suamiku. Demi Allah, Dia Maha Pemurah, Dia tidak mungkin menelantarkan kita. Bahkan Dialah yang melimpahkan rizki-Nya pada kita tiada putusnya." "Sekarang kau tahu, isteriku, bahwa menginfaqkan harta di jalan Allah adalah bisnis yang pasti untungnya dan tidak akan pernah rugi selamanya."

(Diambil dari "Bercinta untuk Surga: Kisah-kisah Islami Pembangun Jiwa", Habiburrahman Saerozi)